Beberapa hari
belakangan ini aku terbayang-bayang wajah almarhum pakde, yang meninggal
tanggal 25 Desember 2012 kemaren. Tiba-tiba aku merindukannya. Sangat. Mungkin
karena kemaren aku tidak bisa ikut menghadiri upacara pemakaman beliau, yang
berangkat ke Jogja hanya bapak dan ibu saja. Tahun ini aku berencana untuk
pulang ke Jogja, aku ingin mengunjungi makam pakde. Entah kapan aku juga belum
tau, masih menunggu libur yang agak panjang, biar ga rugi jauh2 pergi ke Jogja
kalo cuman beberapa hari doank di sana.
Aku mau menceritakan
sedikit sosok pakdeku ini. Bagiku dia adalah pakde yang luar biasa, meski aku
belum terlalu lama mengenal beliau. Karena sejak kecil aku tinggal di Pulau
Bali, sementara Pakde beserta keluarganya tinggal di Pulau Sulawesi. Seingatku
pertemuanku yang pertama dengan pakde pada saat aku kelas 2 SMP, di jogja, pada
saat liburan kenaikan kelas. Itu pertama kalinya aku mengenal beliau,
sebelumnya aku hanya mendengar cerita tentang pakde dari ibu saja. Tidak ada
yang istimewa di pertemuanku yang pertama itu. Bagiku dia hanya pakde, kakak
dari ibuku. Itu saja. Nothing special. Tidak ada memori apapun yang berkesan di
pertemuanku yang pertama itu.
Pertemuan kedua pada
saat eyang putri meninggal. Aku kembali bertemu dengan pakde. Pada saat itu
pakde lah anaknya eyang yang terakhir datang, semua orang menunggunya sebelum
akhirnya eyang akan dikebumikan. Pertemuan kedua juga biasa saja. Saat itu
pakde masih aktif bekerja di salah satu perusahaan di Sulawesi. Setelah upacara
pemakaman eyang pakde pun kembali ke Sulawesi melanjutkan pekerjaannya.
Pertemuan berikutnya,
pakde sudah pensiun, pakde memutuskan untuk menetap di Jogja berkumpul dengan
istri dan anak-anaknya yang sudah lebih dulu hijrah ke Jogja. Aku lupa tahun
berapa pakde pensiun dan mulai menetap di jogja. Aku tidak ingat. Yang jelas
sebelum aku lulus kuliah S1 pakde sudah pensiun. Aku ingat sekali, tanggal 31
Januari 2009, pakde menangis bahagia untukku. Hari itu aku diwisuda, dan aku
mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikanku. Pada saat pulang ke rumah
ternyata ada pakde, ibu memberitahu kabar sukacita itu ke pakde. Pakde terlihat
sangat bangga dan bahagia, meski aku bukan anak kandungnya, aku tau dia bahagia
untukku. Di rumah, bulik Gendariyani (Yani) sudah menyiapkan hidangan istimewa
untuk merayakan wisudaku. Sebelum kami menikmati hidangan tersebut, Pakde
memimpin doa untuk kami. Di dalam doanya pakde menangis, dia menangis bahagia
untukku, dan mungkin juga untuk ibu. Ibu menangis. Bulik Yani juga menangis.
Entah memori apa yang melintas di benak pakde, ibu, dan bulik saat itu sehingga
mereka bertiga mengeluarkan bulir-bulir air matanya.
Memori yang lain yang
tak akan pernah bisa aku lupakan seumur hidupku adalah ketika aku hampir putus
asa menghadapi tesisku. Saat itu proposal penelitianku ditolak di objek
penelitian yang aku tuju, sementara saat itu aku sudah lulus seminar proposal.
Objek penelitian alternatif lainnya juga tidak memberikan hasil yang
menyenangkan. Intinya saat itu aku benar-benar putus asa. Aku menelepon ibu dan
menceritakan semuanya sama ibu, kebetulan saat itu di rumah di Bali ada pakde.
Pakde tau aku sedang putus asa. Pakde menyemangatiku, pakde memotivasiku, pakde
mendorongku untuk bangkit dan berusaha lagi. Kata-kata pakde yang sampai saat
ini selalu aku ingat adalah
“Kamu bisa Tyas, kamu mampu, hanya hatimu saja yang terlalu kecil menghadapi mereka”
Kata-kata itu selalu terngiang di telingaku
setiap aku takut dan khawatir menghadapi sesuatu. Kalian tidak tahu, betapa
pakde sangat menyayangiku. Ya, aku merasakannya, aku merasakan kasih sayang
seorang pakde. Pakde akan melakukan apapun demi orang-orang yang dia kasihi,
termasuk aku.
Di akhir tahun 2010
pakde jatuh sakit. Pakde stroke. Aku sedih sekali. Setiap kali aku
menjenguknya, pakde tidak pernah menunjukkan bahwa ia sedang sakit, dia selalu
menunjukkan semangatnya. Entah apakah ia sedang menutupi perasaan atau apa,
yang jelas pakde selalu bersemangat setiap kali aku datang ke sana meski ia
hanya dapat terbaring di tempat tidur saja. Pakde bahkan tidak pernah berhenti
untuk menyemangatiku dan memotivasiku dalam kondisi terbaring lemah seperti
itu. Pakde tau aku selalu butuh semangat dan dorongan dari dia. Pakde tau
hatiku terlalu kecil.
Tulisan ini aku
dedikasikan untuk Pakde Ir. Tjiptoning Mintorogo.
No comments:
Post a Comment