Friday, January 25, 2013

Pakde



Beberapa hari belakangan ini aku terbayang-bayang wajah almarhum pakde, yang meninggal tanggal 25 Desember 2012 kemaren. Tiba-tiba aku merindukannya. Sangat. Mungkin karena kemaren aku tidak bisa ikut menghadiri upacara pemakaman beliau, yang berangkat ke Jogja hanya bapak dan ibu saja. Tahun ini aku berencana untuk pulang ke Jogja, aku ingin mengunjungi makam pakde. Entah kapan aku juga belum tau, masih menunggu libur yang agak panjang, biar ga rugi jauh2 pergi ke Jogja kalo cuman beberapa hari doank di sana.

Aku mau menceritakan sedikit sosok pakdeku ini. Bagiku dia adalah pakde yang luar biasa, meski aku belum terlalu lama mengenal beliau. Karena sejak kecil aku tinggal di Pulau Bali, sementara Pakde beserta keluarganya tinggal di Pulau Sulawesi. Seingatku pertemuanku yang pertama dengan pakde pada saat aku kelas 2 SMP, di jogja, pada saat liburan kenaikan kelas. Itu pertama kalinya aku mengenal beliau, sebelumnya aku hanya mendengar cerita tentang pakde dari ibu saja. Tidak ada yang istimewa di pertemuanku yang pertama itu. Bagiku dia hanya pakde, kakak dari ibuku. Itu saja. Nothing special. Tidak ada memori apapun yang berkesan di pertemuanku yang pertama itu.

Pertemuan kedua pada saat eyang putri meninggal. Aku kembali bertemu dengan pakde. Pada saat itu pakde lah anaknya eyang yang terakhir datang, semua orang menunggunya sebelum akhirnya eyang akan dikebumikan. Pertemuan kedua juga biasa saja. Saat itu pakde masih aktif bekerja di salah satu perusahaan di Sulawesi. Setelah upacara pemakaman eyang pakde pun kembali ke Sulawesi melanjutkan pekerjaannya.

Pertemuan berikutnya, pakde sudah pensiun, pakde memutuskan untuk menetap di Jogja berkumpul dengan istri dan anak-anaknya yang sudah lebih dulu hijrah ke Jogja. Aku lupa tahun berapa pakde pensiun dan mulai menetap di jogja. Aku tidak ingat. Yang jelas sebelum aku lulus kuliah S1 pakde sudah pensiun. Aku ingat sekali, tanggal 31 Januari 2009, pakde menangis bahagia untukku. Hari itu aku diwisuda, dan aku mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikanku. Pada saat pulang ke rumah ternyata ada pakde, ibu memberitahu kabar sukacita itu ke pakde. Pakde terlihat sangat bangga dan bahagia, meski aku bukan anak kandungnya, aku tau dia bahagia untukku. Di rumah, bulik Gendariyani (Yani) sudah menyiapkan hidangan istimewa untuk merayakan wisudaku. Sebelum kami menikmati hidangan tersebut, Pakde memimpin doa untuk kami. Di dalam doanya pakde menangis, dia menangis bahagia untukku, dan mungkin juga untuk ibu. Ibu menangis. Bulik Yani juga menangis. Entah memori apa yang melintas di benak pakde, ibu, dan bulik saat itu sehingga mereka bertiga mengeluarkan bulir-bulir air matanya.

Memori yang lain yang tak akan pernah bisa aku lupakan seumur hidupku adalah ketika aku hampir putus asa menghadapi tesisku. Saat itu proposal penelitianku ditolak di objek penelitian yang aku tuju, sementara saat itu aku sudah lulus seminar proposal. Objek penelitian alternatif lainnya juga tidak memberikan hasil yang menyenangkan. Intinya saat itu aku benar-benar putus asa. Aku menelepon ibu dan menceritakan semuanya sama ibu, kebetulan saat itu di rumah di Bali ada pakde. Pakde tau aku sedang putus asa. Pakde menyemangatiku, pakde memotivasiku, pakde mendorongku untuk bangkit dan berusaha lagi. Kata-kata pakde yang sampai saat ini selalu aku ingat adalah 
“Kamu bisa Tyas, kamu mampu, hanya hatimu saja yang terlalu kecil menghadapi mereka”
Kata-kata itu selalu terngiang di telingaku setiap aku takut dan khawatir menghadapi sesuatu. Kalian tidak tahu, betapa pakde sangat menyayangiku. Ya, aku merasakannya, aku merasakan kasih sayang seorang pakde. Pakde akan melakukan apapun demi orang-orang yang dia kasihi, termasuk aku.

Di akhir tahun 2010 pakde jatuh sakit. Pakde stroke. Aku sedih sekali. Setiap kali aku menjenguknya, pakde tidak pernah menunjukkan bahwa ia sedang sakit, dia selalu menunjukkan semangatnya. Entah apakah ia sedang menutupi perasaan atau apa, yang jelas pakde selalu bersemangat setiap kali aku datang ke sana meski ia hanya dapat terbaring di tempat tidur saja. Pakde bahkan tidak pernah berhenti untuk menyemangatiku dan memotivasiku dalam kondisi terbaring lemah seperti itu. Pakde tau aku selalu butuh semangat dan dorongan dari dia. Pakde tau hatiku terlalu kecil.

Dua tahun. Bukan waktu yang sebentar bagi pakde. Akhir tahun 2012 kemaren pakde akhirnya kembali ke pangkuan Bapa di sorga. Mungkin ini yang terbaik bagi pakde. Pakde tidak merasakan sakit lagi. Pakde tidak menderita lagi. Pakde tidak sedih lagi. Aku yakin pakde sudah bahagia di sana.

Pakde, aku kangen pakde. Maaf pakde kalo sekarang aku ga bisa berhenti mewek. Entah kenapa tiba-tiba keinget sama pakde. Pakde lagi apa disana? Pakde baik-baik aja kan? Selalu semangatin aku dari sana ya pakde. Pakde itu motivator terhebat sepanjang sejarah hidupku, Mario Teguh aja kalah sama pakde :D

Tulisan ini aku dedikasikan untuk Pakde Ir. Tjiptoning Mintorogo.

No comments:

Post a Comment