Monday, January 28, 2013

Nikmati Jalani Syukuri

Maunya ngoreksi soal ujian. Begitu lihat lembar jawaban pertama, duh tulisan ga jelas, jawaban mengecewakan, males banget ngelanjutin meriksa. Besok aja dah, sedang tidak mood meriksa ujian.

Yah gini dah, nasib jadi buruh ilmu. Aku juga masih ga ngerti kenapa aku ada disini sekarang. Sumpah suer metal sodara-sodara, aku sama sekali ga punya cita-cita jadi buruh ilmu seperti sekarang ini.

Cita-cita ku waktu kecil, aku pengen jadi pramugari. Tiap kali naek pesawat "gretongan" waktu kecil dulu, trus liat pramugari cantik-cantik, duhh pengen deh jadi pramugari, udah cantik bisa jalan-jalan terus naek pesawat. Biasalah cita-cita lugu anak TK. Tiap ditanya orang tentang cita-cita aku selalu menjawab dengan lantang dan penuh percaya diri : "Aku pengen jadi PRAMUGARI". Tapi sampe sekarang cita-cita itu ga pernah terwujud. Face factor n body factor ga mendukung sama sekali seh, hahahahahaha. :))

Cita-cita berikutnya, aku pengen jadi KASIR. Dihhh, cita-cita kok kasir, pasti gitu deh kalian mbatin ya? Hahahahha. Jadi gini, dulu waktu masih kecil, sering banget diajak sama ibu belanja ke salah satu pusat perbelanjaan. Waktu aku liat kasir berinteraksi dengan komputer, memasukkan kode-kode barang, dalam pikiranku : "Wahhh hebat sekali ya mbak ini, bisa ngitung semua belanjaannya ibu, trus bisa langsung keluar struk belanjaannya apa aja." Aku selalu beranggapan bahwa kasir itu adalah orang yang hebat, pintar, dan cerdas. Setelah mulai besar aku baru tahu bahwa yang hebat dan cerdas itu sebenarnya benda yang bernama komputer itu tadi, bukan mbak kasirnya. :)) *mungkin ini cikal bakal aku tertarik dengan dunia komputer*

Cita-cita selanjutnya, aku pengen jadi SEKRETARIS. Yahh udah agak lumayan lah cita-citanya sekarang. Tapi kalo boleh jujur aku pengen jadi sekretaris itu gara-gara kebanyakan nonton sinetron. Iya waktu kecil dulu, pengasuhku hobi banget deh nonton sinetron, jadilah aku juga terpengaruh hobi si mbok. Ada salah satu sinetron yang tiap hari ditonton sama si mbok, aku lupa judulnya apa, di sinetron itu ada sosok seorang sekretaris yang cantik, selalu pake rok mini, trus kemana-mana pergi selalu sama bosnya. Waktu itu pikirku, iiihhh enak kali ya jadi sekretaris, kemana-mana pergi nemenin si bos, mana bosnya ganteng lagi waktu itu, hahahahaha.

Lulus SMA aku punya orientasi yang berbeda terhadap pekerjaan. Aku pengen jadi PNS. Seperti ibuku. Oiya ngomong-ngomong, aku belum cerita tentang ibuku ya? Hemm ibuku itu seorang tenaga medis, bidan lebih tepatnya. Nah, bapakku itu pengen banget aku ngelanjutin jejak ibuku. Tapi aku ga mau. Sejak kecil, aku bertekad ga pengen jadi seperti ibuku, ga mau jadi tenaga medis seperti ibu. Waktu kecil aku sering ditinggal ibu dinas malam, aku jarang ketemu ibu. Aku sekolahnya pagi sampe jam 12 ato jam 1 siang baru pulang. Sementara ibu kalo dinas malam, berangkat jam 1/2 1 siang trus pulang baru besok paginya jam 7 pagi. Makanya aku ga pengen seperti ibu, aku ga mau anakku nanti kurang kasih sayang seperti aku. Cukup aku saja yang merasakan itu.

Nah iya kembali ke masalah PNS tadi. Lulus SMA aku ikut tes masuk STAN, berharap setelah sekolah disana trus ikatan dinas, trus jadi PNS. Ga berpikir ruwet deh nyari kerjaan. Soalnya sering sekali aku lihat di TV dan baca berita di koran tentang jumlah pengangguran di Indonesia yang semakin tahun semakin meningkat. Hiiiii, aku ga mau jadi pengangguran. Mati-matian  aku berusaha untuk bisa diterima jadi mahasiswa STAN. Aku ikut tes sampe 3 kali. Pertama di Malang, trus di Denpasar, trus di Jogja. Dan ketiga-tiganya GA LULUS!! Bisa kebayang ga gimana hancurnya hatiku? Sangat hancur, depresi, stress, dan segalam macemlah. Rasa sakitnya itu melebihi diputusin pacar. #seriusini

Meski gagal diterima jadi mahasiswa STAN aku tetap melanjutkan hidupku donk. Seperti kata Shaden, dunia ga berhenti berputar cuy meski aku ditolak jadi mahasiswa STAN, aku tetep kuliah meski kalo aku boleh jujur, aku ga begitu suka kuliah di jurusan itu. Ibarat kata, guweh terdampar disana sodara-sodara. Ssstt tapi jangan bilang sapa-sapa lho ini.

Syukurnya aku diberi kesadarn yang kuat sama TUHAN. Meski aku terjerembab dalam dunia persilatan yang tidak aku senangi, aku tetap bertanggung jawab. Aku tetap kuliah dengan rajin, ga pernah bolos. Aku berusaha mengikuti perkuliahan dengan baik. Yah tidak seperti mahasiswa lainnya, yang kalo udah merasa salah jurusan trus ogah-ogahan kuliah, males, dsb. Satu-satunya hal yang mampu memotivasi diriku saat itu adalah orang tuaku. Yup, aku ga mau mengecewakan orang tuaku yang sudah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit (setidaknya menurut ukuran keluarga kami) untuk aku kuliah disana.

Aku ga pernah punya cita-cita yang terlalu muluk2. Aku ga pernah punya ambisi untuk dapat nilai terbaik. Mungkin kalo mahasiswa lain ketika menerima KHS mata langsung tertuju ke nilai IP. Kalo aku enggak, aku ga pernah peduli berapa IP ku, yang penting aku lulus, tidak ada nilai D atau E, dengan kata lain tidak ada mata kuliah yang perlu aku ulang. Itu saja. Satu-satunya ambisiku saat itu adalah bisa secepatnya keluar dari tempat itu. Aku pengen cepet lulus, cepet kerja, trus punya duit sendiri. :))

Doaku didengar TUHAN, senangnya :)) Aku lulus hanya dalam waktu 3,5 tahun. Tapi kemudian aku dikejutkan dengan adanya beasiswa dari kampus untuk melanjutkan studi S2. Whhhattttt?? S2?? Baru aja aku lulus, baru aja sidang skripsi, trauma dibantai dosen masih membayangiku, dan sekarang musti kuliah lagi? musti ngejalanin yang kayak kemaren lagi? Ohhhh Tidakkkk!

Ehhh jujur ni serius, waktu itu aku ga mau ngambil beasiswa itu. Aku ga pernah punya cita-cita setinggi itu. Aku ga mau kuliah lagi. Bikin Tesisnya kayak apa besok? Skripsi kemaren aja aku dibantai habis sama dosen? Trus besok tesis dibantai mampus donk? Banyak ketakutan di kepalaku saat itu, tapi bujuk rayu banyak orang akhirnya meluluhkan aku. Aku kuliah juga sodara-sodara. Yah sama saja dengan kegiatan kebanyakan mahasiswa pada umumnya, kuliah, nugas, kuliah, nugas, yaahh gitu-gitulah keseharianku. Oiya, ada salah satu temanku yang pernah bertanya sama aku, "Ngapain kamu ngambil S2? Kamu mau jadi Dosen?" Ehhh, dosen?? aku ga pernah punya cita-cita jadi dosen, aaahh ga tau lahh mau jadi apa yang penting aku jalanin aja yang sekarang ini, entah besok mau jadi apa, begitu pikirku.

Singkat cerita TUHAN benar-benar menjadikanku seorang Dosen lewat caranya yang ajaib yang sampe saat ini masih tidak kumengerti. Entah ini yang disebut kebetulan atau apa, rasioku bener-bener habis dibuat-Nya, semua itu rasanya hampir tidak masuk akal. Beasiswa itu kebetulan lho, banyak temen-temenku yang IP nya jauh di atas aku, cuma kebetulan aja aku lebih dulu lulus dari mereka maka akhirnya aku yang dapet beasiswa. Kenal sama Pak Helmy yang akhirnya mengajakku jadi buruh ilmu disini juga kebetulan, dan sebelumnya bisa ketemu Pak Helmy di fesbuk itu juga kebetulan. Semua serba kebetulan. Tapi aku yakin tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Semua sudah direncanakan TUHAN.

Kadang apa yang kita inginkan memang ga selalu dikabulkan TUHAN, malah apa yang kita ga pengen sama sekali itu yang disediakan TUHAN. Entah aku sudah menjiwai dunia perdosenan ini atau belum, tapi aku selalu berusaha melakukan yang terbaik semampu aku. Aku tidak tahu besok mau jadi apa, tapi yang aku tau aku jalani saja apa yang ada di hadapanku sekarang. Nikmati Jalani Syukuri.

Selamat malam, selamat beristirahat. :))

Friday, January 25, 2013

Pakde



Beberapa hari belakangan ini aku terbayang-bayang wajah almarhum pakde, yang meninggal tanggal 25 Desember 2012 kemaren. Tiba-tiba aku merindukannya. Sangat. Mungkin karena kemaren aku tidak bisa ikut menghadiri upacara pemakaman beliau, yang berangkat ke Jogja hanya bapak dan ibu saja. Tahun ini aku berencana untuk pulang ke Jogja, aku ingin mengunjungi makam pakde. Entah kapan aku juga belum tau, masih menunggu libur yang agak panjang, biar ga rugi jauh2 pergi ke Jogja kalo cuman beberapa hari doank di sana.

Aku mau menceritakan sedikit sosok pakdeku ini. Bagiku dia adalah pakde yang luar biasa, meski aku belum terlalu lama mengenal beliau. Karena sejak kecil aku tinggal di Pulau Bali, sementara Pakde beserta keluarganya tinggal di Pulau Sulawesi. Seingatku pertemuanku yang pertama dengan pakde pada saat aku kelas 2 SMP, di jogja, pada saat liburan kenaikan kelas. Itu pertama kalinya aku mengenal beliau, sebelumnya aku hanya mendengar cerita tentang pakde dari ibu saja. Tidak ada yang istimewa di pertemuanku yang pertama itu. Bagiku dia hanya pakde, kakak dari ibuku. Itu saja. Nothing special. Tidak ada memori apapun yang berkesan di pertemuanku yang pertama itu.

Pertemuan kedua pada saat eyang putri meninggal. Aku kembali bertemu dengan pakde. Pada saat itu pakde lah anaknya eyang yang terakhir datang, semua orang menunggunya sebelum akhirnya eyang akan dikebumikan. Pertemuan kedua juga biasa saja. Saat itu pakde masih aktif bekerja di salah satu perusahaan di Sulawesi. Setelah upacara pemakaman eyang pakde pun kembali ke Sulawesi melanjutkan pekerjaannya.

Pertemuan berikutnya, pakde sudah pensiun, pakde memutuskan untuk menetap di Jogja berkumpul dengan istri dan anak-anaknya yang sudah lebih dulu hijrah ke Jogja. Aku lupa tahun berapa pakde pensiun dan mulai menetap di jogja. Aku tidak ingat. Yang jelas sebelum aku lulus kuliah S1 pakde sudah pensiun. Aku ingat sekali, tanggal 31 Januari 2009, pakde menangis bahagia untukku. Hari itu aku diwisuda, dan aku mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikanku. Pada saat pulang ke rumah ternyata ada pakde, ibu memberitahu kabar sukacita itu ke pakde. Pakde terlihat sangat bangga dan bahagia, meski aku bukan anak kandungnya, aku tau dia bahagia untukku. Di rumah, bulik Gendariyani (Yani) sudah menyiapkan hidangan istimewa untuk merayakan wisudaku. Sebelum kami menikmati hidangan tersebut, Pakde memimpin doa untuk kami. Di dalam doanya pakde menangis, dia menangis bahagia untukku, dan mungkin juga untuk ibu. Ibu menangis. Bulik Yani juga menangis. Entah memori apa yang melintas di benak pakde, ibu, dan bulik saat itu sehingga mereka bertiga mengeluarkan bulir-bulir air matanya.

Memori yang lain yang tak akan pernah bisa aku lupakan seumur hidupku adalah ketika aku hampir putus asa menghadapi tesisku. Saat itu proposal penelitianku ditolak di objek penelitian yang aku tuju, sementara saat itu aku sudah lulus seminar proposal. Objek penelitian alternatif lainnya juga tidak memberikan hasil yang menyenangkan. Intinya saat itu aku benar-benar putus asa. Aku menelepon ibu dan menceritakan semuanya sama ibu, kebetulan saat itu di rumah di Bali ada pakde. Pakde tau aku sedang putus asa. Pakde menyemangatiku, pakde memotivasiku, pakde mendorongku untuk bangkit dan berusaha lagi. Kata-kata pakde yang sampai saat ini selalu aku ingat adalah 
“Kamu bisa Tyas, kamu mampu, hanya hatimu saja yang terlalu kecil menghadapi mereka”
Kata-kata itu selalu terngiang di telingaku setiap aku takut dan khawatir menghadapi sesuatu. Kalian tidak tahu, betapa pakde sangat menyayangiku. Ya, aku merasakannya, aku merasakan kasih sayang seorang pakde. Pakde akan melakukan apapun demi orang-orang yang dia kasihi, termasuk aku.

Di akhir tahun 2010 pakde jatuh sakit. Pakde stroke. Aku sedih sekali. Setiap kali aku menjenguknya, pakde tidak pernah menunjukkan bahwa ia sedang sakit, dia selalu menunjukkan semangatnya. Entah apakah ia sedang menutupi perasaan atau apa, yang jelas pakde selalu bersemangat setiap kali aku datang ke sana meski ia hanya dapat terbaring di tempat tidur saja. Pakde bahkan tidak pernah berhenti untuk menyemangatiku dan memotivasiku dalam kondisi terbaring lemah seperti itu. Pakde tau aku selalu butuh semangat dan dorongan dari dia. Pakde tau hatiku terlalu kecil.

Dua tahun. Bukan waktu yang sebentar bagi pakde. Akhir tahun 2012 kemaren pakde akhirnya kembali ke pangkuan Bapa di sorga. Mungkin ini yang terbaik bagi pakde. Pakde tidak merasakan sakit lagi. Pakde tidak menderita lagi. Pakde tidak sedih lagi. Aku yakin pakde sudah bahagia di sana.

Pakde, aku kangen pakde. Maaf pakde kalo sekarang aku ga bisa berhenti mewek. Entah kenapa tiba-tiba keinget sama pakde. Pakde lagi apa disana? Pakde baik-baik aja kan? Selalu semangatin aku dari sana ya pakde. Pakde itu motivator terhebat sepanjang sejarah hidupku, Mario Teguh aja kalah sama pakde :D

Tulisan ini aku dedikasikan untuk Pakde Ir. Tjiptoning Mintorogo.